Senin, 01 Desember 2014

Cerpen 4

Hujan Mengapa Engkau Turun?
Oleh Eka Rahayu*

Embun yang masih tenang meninggalkan petangnya malam. Kicaun burung mulai membisingkan telinga tetapi  itu tidak pernah membuat Didi terhambat dalam melakukan aktifitas seharinya untuk bersiap berangkat ke sekolah. Didi adalah seorang anak yang rajin membantu terutama di sekolah. Didi sangat rajin dalam hal membantu gurunya di sekolah dan Didi ini adalah seorang anak yang ramah terhadap siapapun tetapi keramahanya sirna digerus oleh keadaan. Didi bersekolah di sebuah desa yang ramai, Dia duduk disekolah menengah pertama dikelas 3.
Didi memiliki perawakan yang bisa di bilang berisi alias gemuk bagaimana tidak Didi memiliki berat 98 kilo gram. Tetapi laki-laki ini memiliki kulit putih layaknya seperti orang luar negeri. Hal itulah yang membuat Didi menjadi kuper alias kurang pergaulan, bagaimana tidak Didi selalu dibuli di sekolah, ditempat les, dan di manapun jika Didi bertemu dengan teman-teman di sekolahnya maupun dilingkungan tempat tinggalnya.
Suatu hari angin rela untuk membiarkan Didi bernafas lega. Siang itu bel istirahat berbunyi dan Didi langsung pergi ke kantin secepat kilat dia langsung menyambar bungkusan roti seharga empat ribu rupiah, Didi selalu membawa air minum di dalam wadah minumnya dari rumah. Didi adalah anak yang rajin membaca sehingga tak heran bahwa dia selalu standby di perpustakan jikalau jam istirahat. Saat itulah Didi bertemu dengan segerombolan teman perempuanya saat dia masuk perpustakaan.
Eh ada sigendut,!” celetuk salah satu perempuan dari gerombolan itu.
Tetapi bagi Didi itu adalah hal yang sudah biasa, karena telinganya sudah setebal tembok untuk mendengarkan sindiran atau ejekan seperti kacang goreng.
Tetapi dalam waktu itupun dibalik segerombolan perempuan itu terdengar sayup-sayup.
 “Hei! berhenti untuk mengejeknya,” dan Didi terkaget saat Didi mendengar suara halus bagaikan malaikat yang membisikkan dihatinya.
Jam bel pulang pun berbunyi saatnya berkemas dan pulang ke rumah, tiba-tiba dari belakang suara menggelegar menyambar seperti petir menghujani pikiranya dan menghujat hatinya.
Hei boy mau kemana kamu?, sepertinya terburu-buru sekali boy,?” ternyata itu adalah teman-temanya yang sudah menunggu Didi untuk dijadikan permainan dan bahan olokan.
Didi hanya terdiam kaku badanya mengkristal seolah lumpuh dadakan. Dia tidak berani untuk melontarkan kata-kata akhirnya dia lari sekencang-kencangnya menghindari segerombolan teman-temannya. Secara tiba-tiba saking paniknya Didi, sehingga dia tersandung dan tersungkur di depan kelasnya bagaimana tidak sekolah belum sepi dan sontak semua orang menetertawakanya.
Kebiasaan itu terus berulang bagaikan dinamika rotasi yang akan terus berputar dan akan menjadi alur kisah hidup setiap manusia. Hari itu adalah hari di mana seminggu terhitung dari hari itu. Hari perpisahan akan Didi hadapi dalam jenjang pendidikan SMP untuk melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Saat Didi keluar dari gerbang sekolahnya suara yang tidak asing itu terdengar kembali. Suara lembut seperti bisikan malaikat mendesir dihatinya.
“Di tunggu,!” Didi pun menoleh melihat dibalik gerbang.
Sesosok bayangan tetapi nyata dia adalah wanita yang pertama menegurnya Didi pun langsung membalasnya dengan senyuman sebelum Didi melontarkan balasan pertanyaan dari gadis itu.
”Ada apa Vi?” wanita itu bernama Vijay gadis cantik tapi sayang tak pernah satu kelas dengannya.
Awal perkenalan antara Didi dengan Vijay semakin dekat dan mereka sering bertemu dan memutuskan untuk pergi berjalan-jalan berdua. Hari itu cuaca kurang mendukung sehingga mereka memilih pergi ketoko buku terbesar ditempatnya, sudah lama mereka duduk saling berhadapan di samping jendela kaca yang lumayan besar. Melihat turunya hujan, manusia yang berlalu lalang berlarian untuk berteduh.
Tiba-tiba Didi menarik tangan Vijay dan berkata “Vi ikut aku yuk,!” sambil menarik tangan Vijay. Didi berlari menuju keluar toko dan mengajak Vijay untuk bermain hujan.
“Vi lihatlah aku, aku bisa menghentikan hujan,!” tutur Didi sambil mengibas-ibaskan rambutnya yang basah.
Ahh kamu ini bisa-bisa aja Di, udahlah mending kita berteduh lihat semua mata orang tertuju pada kita,!” balas Vijay dengan sedikit nada marah.
Hujan berhentilah hujan berhentilah!,” kata-kata itu berulang-ulang disebutnya.
Aneh dehkamu Di!,” beranjak pergi meninggalkan Didi, tetapi Didi langsung berteriak kearah Vijay.
 “Vi kalau hujan ini berhenti berarti aku sedang bersama orang yang tidak aku cintai,” tetapi Vijay tidak memperdulikanya dan pergi meninggalkanya.
Hari perpisahanpun tiba, Didi pun lulus dan dapat melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi serupa dengan Vijay. Akhirnya Didi memutuskan untuk melanjutkan ke sekolah menengah atas di desanya itu, tetapi saat Didi mendaftarkan diri dan bahkan sudah masuk selama kurang lebih 5 bulan. Didi tidak pernah mendapati sosok Vijay dalam hari-harinya. Ternyata Vijay meneruskan sekolah ke kota bersama orang tuanya. Didi mulai mencari alamat telepon Vijay dan akhirnya Didi mendapatkan dari ayah Didi, karena ayah Didi berteman dengan ayahnya Vijay.
Hari itu Didi tidak berangkat sekolah karena kurang enak badan, sehingga Didi hanya istirahat dikamar tetapi ada seseorang wanita datang menemuinya dan berkata bahwa.
Aku disuruh Vijay untuk mengatakan bahwa Vijay dulu pernah menyukaimu,” dan dalam sekejap bayangan itu hilang meninggalkan Didi sendirian dibalik kamarnya.
Dan akhirnya Didi bersikeras untuk menghubungi rumahnya.
Halo bisa bicara dengan Vijay,?” Didi langsung menembakkan kata-kata itu tanpa basa-basi.
Iya ini dengan ibunya, ada apa,?” tanya suara wanita dibalik telepon.
kemudian Didi melontarkan pertanyaan kembali.
 “Vijaynya ada bu,?” wanita itu hanya terdiam telepon ini seperti mati tak tersambung koneksi.
Emm nak Vijay sudah tiada, Vijay meninggal 4 bulan yang lalu karena sakit. Apakah ini teman Vijay,?” bibirku tergugu jantungku berdebar tak menentu badanku bergetar takmampu untuk membalaskan pertanyaan wanita itu.
 “Benarkah bu? Mengapa dia tidak pernah memberi tahu kalau dia dulu sakit, iya ini dengan temanya,” Tanya Didi semakin menyakinan.
 “Dia sebenarnya sudah lama sakit, makanya langsung pindah ke kota untuk sambil berobat,” ibu itu menjelaskan kejadiannya.
Daun berterbangan diatas pandangannya merebahkan hatinya  yang patah karena sebagian dari hatinya telah menghilang tanpa jejak. Didi tak pernah menyangka ternyata ada seorang wanita yang menyukainya dan tertarik dengan apa adanya. Cinta itu tidak harus memiliki seperti raganya yang tidak  pernah bisa dia miliki karena semunya adalah sebuah titipan yang sewaktu-waktu akan diambilnya kembali.


*Penulis adalah siswa kelas XII IPA 1 SMA PLUS N 2 BA III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar