Senin, 01 Desember 2014

Cerpen LAPAS

Kerasnya Karang Kehidupan
Oleh Eka Rahayu dan Siti Soleha*

Saat aku membuka tirai jendela rumah terlihat cahaya matahari yang masih mengintip kehidupanku. Aku ingin seperti matahari semakin dia bergerak cepat semakin cepat pula ia menempati kedudukan yang tinggi. Itu seperti mimpiku yang tinggi tapi terkarau. Walaupun mimpiku tinggi seperti apa yang  aku harapkan tapi aku akan tetap berusaha mengejar semuanya.
Namaku Jiteng, aku memiliki satu orang adik laki-laki dan satu adik perempuan. Adikku yang pertama adalah adik laki-laki yang bernama Angkasa, ayahku memberikan nama Angkasa karena ayahku ingin dia mencapai cita-citanya setinggi angkasa. Dan adikku yang perempuan adalah adik bungsuku yang bernama Zahra. Angkasa sekarang sudah tidak sekolah lagi karena keluargaku tidak mempunyai uang yang cukup untuk membiayai. Ayahku yang hanya seorang pengarit rumput untuk diberikan kepada sapi tetanggaku, kini kecewa karena apa yang dicita-citakan untuk Angkasa tidak dapat diwujudkan. Aku bukan anak seorang konglomerat yang mengendarai BMW, namun aku adalah seorang anak yang selalu tersenyum dengan kesederhanaan. Aku tinggal didaerah perairan yang baru saja melakukan pemisahan dari desa lain. Aku tidak memiliki rumah yang mewah, jangankan mewah layak saja tidak. Aku menumpang di gubuk runyuh bibiku, gubuk yang beralaskan tanah, berdinding kardus, dan beratapkan nipa meskipun telah banyak yang bolong. Setiap hujan, aku menangis karena rumahku ikut menangis. Rumahku tidak hanya mengeluarkan air dari atas saja, namun di kiri, kanan dan bawah pun mengeluarkan tangisan yang sangat banyak.
           
Aku terjaga dari tidurku karena aku merasa bahwa air mata dari rumahku telah datang. Aku melihat ibuku dan adik-adikku sibuk membenahi rumah yang terkena hujan semalam, rumahku sudah semakin parah, aku takut jika rumah ini tidak bisa dipakai lagi nanti aku dan keluargaku mau tinggal di mana lagi. Aku memiliki ibu yang dinikahi oleh ayahku setelah ibu kandungku meninggal. Ibuku sering membuatkan keluargaku teh, meskipun teh tersebut terkadang tidak manis karen tidak memakai gula.Terkadang aku sering takut untuk meminum teh buatannya, aku takut nanti ibu tiriku mempunyai niat untuk membunuhku.Aku telah tidak memiliki ibu, setelah ibuku terserang penyakit kanker yang mematikan. Ibuku adalah ibu yang menjadi bidadari dalam rumahku, meskipun rumahku tidak pantas untuk ditinggali oleh seorang bidadari. Aku sangat bahagia memiliki ibu yang baik hati sepertinya.
            Dalam sejarah cerita hidup, ibu tiri adalah ibu yng memiliki niat jahat pada anak tirinya.ibu tiri yang selama ini aku bayangkan adalah orang yang jahat ternyata ibu tiriku tidak memiliki sifat yang sama dengan ibu tiri yang lain. Ibu tiriku yang satu ini tingkahnya sangat sama dengan ibu kandungku yang dulu.  Dalam hari-hariku terkadang aku masih belum bisa menerima ibu tiriku meskipun dia telah menyayangiku seperti anaknya sendiri. aku masih tidak menyangka jika ibuku telah meninggal. Pikiranku seolah melayang-layang terombang-ambing diarahkan oleh angin kencang. Namun itu hanyalah pikiran yang dulu, pikiranku sekarang sejuk seperti embun yang selalu memberikan keceriaan bagi setiap tumbuhan dan burung-burung yang berterbangan.
            Diumurku yang telah dewasa yaitu 16 tahun aku masih duduk dikelas IX . Aku dulu sempat berhenti sekolah, tidak lain tidak bukan karena biaya. Aku berangan jika suatu saat nanti aku  akan menjadi seorang Dokter. Aku bersemangat setiap hari untuk pergi ke sekolah dengan menyusuri sungai yang berarus deras. Terkadang aku harus melawan arus yang sangat dahsyat dengan menggunakan rakit. Di sekolah aku tidak memiliki teman yang ingin bergaul denganku. Alasan mereka tidak ingin berteman denganku karena aku berasal dari keluarga miskin. Mereka sering menghinaku. Terkadang aku harus membuat telingaku menjadi tembok, agar aku tidak sakit hati dengan gunjingan mereka. Mereka terkadang mencaciku dan mengejeku dan mereka selalu beranggapan bahwa aku akan bernasip sama dengan ayahku yang hanya seorang pengarit rumput dan pemberi makan sapi. Angin berhembus cukup kencang hingga meruntuhkan dedaunan yang berada di taman sekolah, seolah angin menyeretku pergi, fisik maupun batin. Hari ini saatnya aku menentukan hasil dari jerih payahku selama ini.
Pada hari ini adalah hari dimana aku akan mendapatkan sebongkah emas yang akan membawaku kepada kehidupan yang sebenarnya. Aku datang kesekolah dengan membawa seribu semangat yang aku gendong dipundakku, dan disaksikan embun yang seolah enggan hilang sebelum pagi berlalu. Aku melihat selembaran kertas yang tertempel di papan mading sekolah, selembaran kertas yang membuat jantung setiap orang seakan berdetak kencang seperti kereta yang melewati relnya. Jantungku seakan berhenti ketika aku melihat namaku tertera paling atas diantara teman-temanku yang lain. Akupun pulang dengan membawa sejuta harapan kedua orangtuaku berharap bangga atas hasil yang peroleh dan aku berharap ayahku akan memasukkanku kesekolah favorit didaerahku. Namun semua itu telah usang dilindas hari harapanku ayahku tersenyum tetapi dia hanya terdiam dan meneteskan air mata, didalam hati aku tau sebenarnya ayahku senang dengan apa yang aku peroleh tetapi dibalik itu ayahku berfikir keras untuk mendapatkan uang. Aku berjalan dengan telapak kaki yang sudah keras membatu aku harus menyusuri jalan yang berliku dan berkerikil tajam, namun semua itu sudah biasa aku lewati dalam keseharian hidup. Aku terperosok kedalam selokan yang berada didekat tiang listrik karena mobil yang dikendarai oleh juragan tanah yang bernama Jaelani, dia begitu sombong pelit sekaligus menjadi lintah darat yang berada didesaku. Dia juga memiliki banyak istri. Lalu  aku berdiri tergopoh-gopoh dengan bantuan tiang yang berda di dekatku.
            Saat aku telah berdiri, dan aku pun melihat sebuah kertas yang akan berperan sebagai latar dalam kehidupanku. kertas itu adalah brosur yang tertempel di tiang tersebut. Brosur itu berisikan tentang salah satu sekolah terbaik di daerahku, namun jaraknya jauh dari rumahku. Aku berharap bahwa aku bisa sekolah di sana. Di sana juga menyediakan asrama bagi siswa dan siswi yang memiliki tempat tinggal yang jauh. Dengan senang aku membawa kertas itu untuk aku tunjukan pada kedua orangtuaku. Waktuku seakan berhenti ketika ayahku berkata.
“ Ayah bingung, apa yang harus ayah lakukan”. Aku tau sebenarnya ayahku memikirkan soal biaya.
Cuaca mendung dan hujan, aku menangis bersama rumahku. Aku merasa otakku terbentur batu karang yang keras. Aku tidak tau lagi harus berfikir apa dan berkata apa. Aku hanya bisa menangis lemah. Aku tau sebenarnya ayahku di luar sana memikirkan bagimana caranya aku agar bisa masuk ke sekolah itu. Tiba-tiba ayahku memanggilku untuk keluar dari kamar dan dia ingin membicarakan sesuatu. Ayahku berniat untuk meminjam uang kepada juragan Jaelani. Jantungku seolah tersambar petir yang timbul saat matahari berada tepat di atas kepala. Aku tak terbayaang bagaimana nanti jika keluargaku tidak bisa membayar uang yang akan dipinjam. Ayahku pergi dengan berbekal harapan dan segenap keberanian ke tempat yang terlihat bagaikan surga namun nyatanya neraka. Aku dan Zahrah mengikuti ayahku sampai di depan pagar rumah juragan Jaelani. Setibanya di depan pagar tinggi berwarna keemasan, ayahku disambut dengan wajah melecehkan oleh seorang satpam. Ia menolak mentah-mentah permintaan ayahku untuk memasuki rumah mewah tersebut, walau ayahku telah berlutut dihadapannya. Keributan itupun membuat juragan Jaelani  berserta istri-istrinya keluar dari rumah mewahnya tersebut.  Aku dan adikku bersembunyi dan menyusup masuk melewati tembok tinggi di rumahnya. Lalu aku melihat ayahku tanpa basa-basi  langsung menebalkan keberanian untuk menyampaikan tujuannya datang ke rumah juragan Jaelani. Setelah ayahku menyampaikan tujuannya, juragan jaelani kemudian berkata dengan suara yang lantang.
 “Apa jaminan bahwa uang tersebut bisa dikembalikan,” dengan mendengar kata-kata itu aku langsung keluar dari persembunyian.
Dengan langkah yang penuh dengan keberanian aku menghampiri juragan Jaelani dengan tegas aku berkata
“ Juragan aku berjanji akan mengembalikan uang tersebut 4 sampai 5 tahun lagi”. Juragan Jaelani tertawa terbahak-bahak mendengar perkataanku tadi. 
Lalu dia berkata “apa jaminannya bocah kecil?”
 “Aku siap untuk dibunuh jika uang tersebut tidak dikembalikan 4-5 tahun lagi”.
            Orang yang berada di rumah tersebut terdiam dan seolah tidak berani berbicara. Tiba-tiba zahrah keluar juga dari persembunyian dan berkata.
 “Jangan bunuh kakakku, bunuh aku saja”. Dengan wajah yang menjijikan juragan berkata.
“Aku ingin kamu yang menjadi jaminannya”. Aku sempat membantah semua itu.
 Namun zahrah berbicara dengan hati yang tertusuk dia bersedia menjadi jaminan dari uang tersebut. Juragan Jaelani tertawa dengan kesenangan hati. Cuaca seakan mendung, hati seakan tertusuk, petir menggelegar ditengah gelapnya siang. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Aku berharap semua keberuntungan ada di tanganku.  Kami pulang dengan membawa keceriaan beserta kesedihan. Aku sangat gembira ayah mendapatkan pinjaman uang, namun dibalik itu keceriaanku habis dimakan kesedihan. Aku takut nanti semua ini akan berakhir dengan sia-sia. Namaun, aku tidak ingin semua yang telah diperjuangkan oleh ayahku hanya sia-sia. Aku tidak mau selalu mengikuti kehidupanku. Aku pergi dengan keheningan, kesunyian, tangisan dan doa restu. Dengan menggunakan sepeda tetanggaku, ayahku mengantarkanku ke terminal yang jaraknya cukup jauh dari rumahku. Kayuhan demi kayuhan yang diselimuti oleh berjuta semangat. Hatiku meneteskan air mata yang begitu perih. Aku pergi dengan menggunakan bis. Selama di perjalanan, pikiranku terbang melayang bersama semua kepedihan hidupku. Sering kali aku berfikir bahwa apa yang terjadi dalam hidupku ini hanyalah mimpi, mimpi buruk yang selalu datang di dalam kehidupan. Aku juga berfikir, di sekolahku yang baru nanti apakah ada yang ingin berteman denganku. Di desa kecil saja tidak ada yang mau berteman denganku apa lagi disekolah baruku nanti.
            Tak lama kemudian. Aku sampai di tujuan dengan selamat. Namun, ternyata sekolah tersebut harus masuk ke dalam sejauh 500 meter. Aku bingung, aku tidak tau harus bagaimana. Jika aku naik ojek maka uangku akan berkurang. Jadi, untuk menghemat ongkos, aku yang diiringi oleh matahari yang berada tepat diatas kepalaku, aku berjalan dengan beribu-ribu semangat. Mataku dihiasi oleh pelangi ketika aku melihat sekolah yang berkali-kali lipat bagusnya dibandingkan dengan sekolahku di desa. Aku melihat begitu banyaknya orang yang datang untuk bersekolah disana. Ketika aku mau mendaftar dan ingin mengikuti tes, tanpa sengaja aku melihar pengumuman dipapan mading ternyata namaku telah terdaftar dan aku tidak perlu lagi mengikuti berbagai tes. Hatiku begitu senang, aku bagaikan terbang melayang diseret oleh angin.
            Hari ini adalah hari pertamaku masuk asrama. Aku masuk di kamar A putra. Dalam 1 kamar tedapat 8 siswa. Aku melihat orang-orang disekelilingku diantar dan dikunjungi ibu dan ayah mereka. Aku menangis sendirian dengan hati yang miris di tempat tidurku. Aku sangat iri melihat mereka, aku ingin ayahku mengantarku kesini. Namun, biaya akan bertambah jika aku memaksakan kehendakku sendiri.Aku terbangun dari tidurku. Hari sudah sore, matahari sudah ingin beristirahat. Aku tidak sadar ternyata tadi aku tertidur. Semua orangtua sudah pulang. Aku bergegas untuk mandi. Aku menikmati air yang jernih, segar dan meresap kedalam pori-pori tubuhku. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar mandi tersebut. Aku bergegas untuk menyelesaikan mandiku, lalu aku pun keluar. Aku melihat sesosok orang bertubuh besar, berkulit hitam, berwajah seram dengan mata yang tajam yang memandangku dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan. Seluruh tubuhku bergetar seolah menggigil. Dia berjalan mendekatiku sambil berbicara dengan suara yang lantang dia langsung memarahiku dan dia berkata.
“Berani-beraninya kamu menyerobot antrian mandiku. asal kamu tau ya, saya sudah lama menunggu”.  Aku terdiam dengan mata tertutup tidak berani bergerak dan tak berani berbicara, badanku semakin gemetar.
Tiba-tiba aku mendengar suara.
 “Gleebook”, aku terkejut dan langsung membuka mata. Aku melihat orang tersebut terpeleset dan jatuh.
Tanpa sengaja aku tertawa terbahak-bahak, lalu aku menghentikan tertawaku karena suara tertawaku membuat semua orang yang berada di dalam kamar bergerombol mendekati suara tertawaku. Lalu lelaki itu berdiri dan semakin mendekatiku sambil berkata.
            “Kamu tau kamu berurusan dengan siapa?”. Aku terdiam dan aku hanya bisa menggelegkan kepalaku.
Dia berkata dengan tegas.
 “Aku ini adalah ketua kamar di sini”. Kemudian semua orang yang berada di sekelilingku mengejekku seolah enggan berteman denganku. Aku ketakutan sekali mendengar kata-kata itu.
Di kamar yang dihuni oleh 8 orang ini hanya satu orang yang ingin berteman denganku. Namanya Abdul, dia adalah orang yang humoris dan juga berasal dari orang yang kaya. Rasanya baru kali ini aku menemukan orang kaya yang baik dan tidak sombong. Tapi sayangnya dia ini orangnya agak kurang nyambung dan mikirnya perlu loding yang lama. Yah begitulah manusia, selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Disekolah kami mendapatkan banyak tugas. Apalagi tugas tentang membuat makalah. Sekolahku memiliki jarak yang jauh dari pasar . Aku berniat untuk membeli printer yang ada mesin fotocopynya. Aku akan mengenakan tarif  yang lebih murah dari pada tarif yang dikenakan di koprasi.  Namun, aku bingung aku membelinya pakai apa. Entah kenapa aku langsung terfikir pada Abdul. Sepertinya aku harus meminjam uang pada Abdul.  Aku rasa  sudah waktunya aku menyampaikan niatku untuk meminjam uang pada Abdul. Dengan basa-basi terlebih dahulu aku baru mengucapkan niatku untuk meminjam uang. Tanpa satu halpun Abdul langsung mengeluarkan uangnya dan dia juga bilang bahwa uang tersebut tidak perlu dikembalikan. Aku sangat senang berteman dengan orang yang royal seperti Abdul.
Di hari pertamaku membuka tempat print dan foto kopi, aku mendapatkan cukup banyak uang. Aku bahagia sekali. Namun dibalik itu bisnisku ini tidak boleh dibocorkan kepada para guru. Jadi aku memilih membuka usahaku setiap satu jam sebelum pulang sekolah, karena pada saat itu guru sudah banyak yang tidak masuk kelas lagi. Aku berfikir jika kesuksesan usahaku saja tidak cukup. Jadi, aku berfikir.
 “Mesin saja bisa jadi uang apalagi otak“. Aku berniat untuk memanfaatkan kecerdasanku untuk mencari uang.
Akhirnya, aku bersedia menjadi guru privat kecil-kecilan dengan bayaran seikhlasnya. Namun, hal itu tidak digunakan untuk Abdul, karena Abdul adalah sahabat terbaikku.
Esok harinya tiba-tiba seorang guru kesiswaan mengetahui bahwa aku memiliki usaha foto copy, dan secepat kilat akupun segera dibawanya ke ruang guru. Aku menceritakan apa yang aku alami, guru kesiswaanpun memberikan aku sebuah poin untuk peringatan pertama. Dan aku berjanji tidak akan melakukan hal tersebut, ternyata mamatlah yang mengadukan kepada guru kesiswaan bahwa aku membuka usaha foto copy. Saatku menuju keasrama aku merebahkan badanku dikasur yang lepek dan penuh debu yang membuat badanku sedikit gatal, tiba-tiba datang sesosok wujud yang hitam legam yang ditutupi awan hitam datang menghampiriku. Dia adalah abdul, abdulpun menghampiriku dan menanyakan apa yang sedang terjadi denganku, Aku menceritakan apa yang telah terjadi disekolah tadi. Tetapi lagi-lagi mamat sudah mengahasut abdul, sehingga abdul tak mempercayaiku lagi, sampai-sampai abdul menjahuiku. Saat aku sendiri aku termenung, akankah abdul selalu membenciku ? telah lama aku tidak bercerita dengan abdul padahal ada cerita yang luar biasa yang harus dia ketahui bahwa aku sedang jatuh cinta, cinta pada seorang wanita yang sangat kupuja dia adalah zafira wanita tercantik di sekolahku.
***
Sebulan telah berlalu.....
Abdulpun menghampiri jiteng dengan tiba-tiba.
“Teng! Aku minta maaf, aku menyesal aku telah menjahuimu padahal kamulah nyawaku” ternyata abdul tidak tahan menjahuiku karena tidak ada yang membantunya untuk mengerjakan tugas dan mengajarinya.
Akupun tak lupa menceritakan wanita terindah dalam hidupku.
***
Kelas XII......
            Tak terasa uang dari hasil jerih payahku bekerja, menghasilkan buih sekarang uang terkumpul 3 juta.
 “Alhamdulilah tinggal 2 juta lagi aku bisa menutupi hutang ayahku” Tetapi dalam hitungan waktu uang itu lenyap ditelan alam.
 Tak satu orangpun mengetahui hilangnya uangku, aku merasa sedih ibarat astronot sudah sampai dibulan ternyata gagal untuk turun ke bulan. Keringat yang kuteteskan demi mengumpulkan uang itu hanyalah sia-sia kini aku hanya bisa mengelus dada, dan menarik napas panjang.  Aku memiliki bakat dalam menulis, dan aku juga mengikuti ekskul karya ilmiah remaja di sekolahku. Hari itu hari keberuntunganku dimana durian jatuh tepat dihadapanku, aku lolos dalam pemilihan.
 “Peduli remaja sehat dalam mengolah air” akhirnya aku terbang ke bogor dan mengikuti pelaksanaan dalam lomba itu.
Aku tak menyadari bahwa ini bukan mimpi, ternyata aku menjadi pemenang dalam ajang lomba itu. Lumayan hadiahnya cukup menarik dengan uang dua juta lima ratus.
“ Tidak apa aku akan tetap mengumpulkan uang ini demi adik dan ayahku J
Sedikit demi sedikit dan peluang lomba banyak terbuka untukku akupun dapat mengumpulkan uang untuk membayar hutangku, aku berniat untuk pulang dan menyerahkan uang kepada konglomerat itu. Tetapi sesampai dirumah aku melihat bendera kuning melambai-lambaikan seolah angin turut berduka dengan kepergian seorang adik. Akupun masuk kerumah dan melihat sesosok mayat terbujur kaku diatas karpet kesayanganya, angkasa telah pergi meninggalkan kami, adik yang selalu aku banggakan, adik yang selalu membantuku, adik yang selalu mengerti aku, adik yang selalu ada untuk bermain bersama, kini telah menjadi sosok mayat yang pucat dan tidak berdaya. Aku tak kuat melihat adikku ditimbun oleh tanah yang keras dan penuh dengan kotoran-kotoran itu, tapi aku harus merelakanya lahir dan bathin. Selamat jalan adikku tercinta, selamat jalan adikku tersayang, dan selamat tinggal L.
***
4 hari kemudian...
Aku pergi kerumah konglomerat itu dan membayarkan hutang ayahku secara lunas tanpa sedikitpun yang tertinggal. Hatiku terasa lega saatku berjabat tanda lunas dengan sang konglomerat gila harta itu. Senyum merekah bagai bunga ditaman, walaupun sekarang keluarga kami tak lengkap seperti dulu lagi. Aku berpamitan kepada ayah untuk pulang keasrama, karena aku mengingat sekarang aku sudah kelas XII dan sebentar lagi aku akan berperang melawan batin dan fisik. US dan UN pun telah kulewati, tinggal menunggu hasil yang akan menentukan nasib masa depanku. Tetapi Masalah yang ada dipikiranku itu seperti sawang yang berggelayutan di pojok rumah yang selalu dibersihkan tetapi tetap ada terus dan tak pernah hilang.  Saatnya telah tiba, aku pun lulus SMA dan mendapat gelar widyautama dan menjadi lulusan terbaik. Ayahku bangga padaku, akhirnya kutemukan senyum lebar dari ayahku.
 “Yah aku berjanji akan mebahagian ayah dan adik aku janji aku tak akan membiarkan ayah kehujanan, kelaparan dirumah” J aku sayang dengan ayah karena sekarang hanya ayah yang kupunya”.
Akupun memeluk tubuh ayahku yang lemas tak berdaya seakan dunia ikut menangis, tangisan bahagia menderu terasa enggan untuk berhenti.
“Ayah bangga padamu ji! Ibumu disana pasti senang melihatmu sukses”.
***
5 bulan kemudian....
            Sekarang, aku telah diterima sekolah di perguruan tinggi jurusan fakultas kedokteran dan mendapatkan beasiswa. Ini baru namanya hidup sukses walau awalnya harus merayap, ikhlas dalam bentuk cobaan apapun. Sungguh aku merasa bahagia walau hanya sekedipan mata J.


*Penulis adalah siswa kelas XII IPA 1 SMA PLUS N 2 BA III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar