Kerasnya
Karang Kehidupan
Oleh Eka Rahayu dan Siti Soleha*
Saat aku membuka tirai jendela
rumah terlihat cahaya matahari yang masih mengintip kehidupanku. Aku ingin
seperti matahari semakin dia bergerak cepat semakin cepat pula ia menempati
kedudukan yang tinggi. Itu seperti mimpiku yang tinggi tapi terkarau. Walaupun
mimpiku tinggi seperti apa yang aku
harapkan tapi aku akan tetap berusaha mengejar semuanya.
Namaku
Jiteng, aku memiliki satu orang adik laki-laki dan satu adik perempuan. Adikku
yang pertama adalah adik laki-laki yang bernama Angkasa, ayahku memberikan nama
Angkasa karena ayahku ingin dia mencapai cita-citanya setinggi angkasa. Dan
adikku yang perempuan adalah adik bungsuku yang bernama Zahra. Angkasa sekarang
sudah tidak sekolah lagi karena keluargaku tidak mempunyai uang yang cukup
untuk membiayai. Ayahku yang hanya seorang pengarit rumput untuk diberikan
kepada sapi tetanggaku, kini kecewa karena apa yang dicita-citakan untuk
Angkasa tidak dapat diwujudkan. Aku bukan anak seorang konglomerat yang
mengendarai BMW, namun aku adalah seorang anak yang selalu tersenyum dengan
kesederhanaan. Aku tinggal didaerah perairan yang baru saja melakukan pemisahan
dari desa lain. Aku tidak memiliki rumah yang mewah, jangankan mewah layak saja
tidak. Aku menumpang di gubuk runyuh bibiku, gubuk yang beralaskan tanah, berdinding
kardus, dan beratapkan nipa meskipun telah banyak yang bolong. Setiap hujan,
aku menangis karena rumahku ikut menangis. Rumahku tidak hanya mengeluarkan air
dari atas saja, namun di kiri, kanan dan bawah pun mengeluarkan tangisan yang
sangat banyak.
Aku terjaga dari tidurku karena aku merasa bahwa air mata dari rumahku telah datang. Aku melihat ibuku dan adik-adikku sibuk membenahi rumah yang terkena hujan semalam, rumahku sudah semakin parah, aku takut jika rumah ini tidak bisa dipakai lagi nanti aku dan keluargaku mau tinggal di mana lagi. Aku memiliki ibu yang dinikahi oleh ayahku setelah ibu kandungku meninggal. Ibuku sering membuatkan keluargaku teh, meskipun teh tersebut terkadang tidak manis karen tidak memakai gula.Terkadang aku sering takut untuk meminum teh buatannya, aku takut nanti ibu tiriku mempunyai niat untuk membunuhku.Aku telah tidak memiliki ibu, setelah ibuku terserang penyakit kanker yang mematikan. Ibuku adalah ibu yang menjadi bidadari dalam rumahku, meskipun rumahku tidak pantas untuk ditinggali oleh seorang bidadari. Aku sangat bahagia memiliki ibu yang baik hati sepertinya.
Dalam sejarah cerita hidup, ibu tiri
adalah ibu yng memiliki niat jahat pada anak tirinya.ibu tiri yang selama ini
aku bayangkan adalah orang yang jahat ternyata ibu tiriku tidak memiliki sifat
yang sama dengan ibu tiri yang lain. Ibu tiriku yang satu ini tingkahnya sangat
sama dengan ibu kandungku yang dulu. Dalam
hari-hariku terkadang aku masih belum bisa menerima ibu tiriku meskipun dia
telah menyayangiku seperti anaknya sendiri. aku masih tidak menyangka jika
ibuku telah meninggal. Pikiranku seolah melayang-layang terombang-ambing
diarahkan oleh angin kencang. Namun itu hanyalah pikiran yang dulu, pikiranku
sekarang sejuk seperti embun yang selalu memberikan keceriaan bagi setiap
tumbuhan dan burung-burung yang berterbangan.
Diumurku yang telah dewasa yaitu 16 tahun
aku masih duduk dikelas IX . Aku dulu sempat berhenti sekolah, tidak lain tidak
bukan karena biaya. Aku berangan jika suatu saat nanti aku akan menjadi seorang Dokter. Aku bersemangat
setiap hari untuk pergi ke sekolah dengan menyusuri sungai yang berarus deras.
Terkadang aku harus melawan arus yang sangat dahsyat dengan menggunakan rakit. Di
sekolah aku tidak memiliki teman yang ingin bergaul denganku. Alasan mereka
tidak ingin berteman denganku karena aku berasal dari keluarga miskin. Mereka
sering menghinaku. Terkadang aku harus membuat telingaku menjadi tembok, agar
aku tidak sakit hati dengan gunjingan mereka. Mereka terkadang mencaciku dan
mengejeku dan mereka selalu beranggapan bahwa aku akan bernasip sama dengan
ayahku yang hanya seorang pengarit rumput dan pemberi makan sapi. Angin berhembus
cukup kencang hingga meruntuhkan dedaunan yang berada di taman sekolah, seolah
angin menyeretku pergi, fisik maupun batin. Hari ini saatnya aku menentukan
hasil dari jerih payahku selama ini.
Pada hari ini adalah hari dimana
aku akan mendapatkan sebongkah emas yang akan membawaku kepada kehidupan yang
sebenarnya. Aku datang kesekolah dengan membawa seribu semangat yang aku
gendong dipundakku, dan disaksikan embun yang seolah enggan hilang sebelum pagi
berlalu. Aku melihat selembaran kertas yang tertempel di papan mading sekolah,
selembaran kertas yang membuat jantung setiap orang seakan berdetak kencang
seperti kereta yang melewati relnya. Jantungku seakan berhenti ketika aku
melihat namaku tertera paling atas diantara teman-temanku yang lain. Akupun
pulang dengan membawa sejuta harapan kedua orangtuaku berharap bangga atas
hasil yang peroleh dan aku berharap ayahku akan memasukkanku kesekolah favorit
didaerahku. Namun semua itu telah usang dilindas hari harapanku ayahku
tersenyum tetapi dia hanya terdiam dan meneteskan air mata, didalam hati aku
tau sebenarnya ayahku senang dengan apa yang aku peroleh tetapi dibalik itu ayahku
berfikir keras untuk mendapatkan uang. Aku berjalan dengan telapak kaki yang
sudah keras membatu aku harus menyusuri jalan yang berliku dan berkerikil
tajam, namun semua itu sudah biasa aku lewati dalam keseharian hidup. Aku
terperosok kedalam selokan yang berada didekat tiang listrik karena mobil yang
dikendarai oleh juragan tanah yang bernama Jaelani, dia begitu sombong pelit
sekaligus menjadi lintah darat yang berada didesaku. Dia juga memiliki banyak
istri. Lalu aku berdiri tergopoh-gopoh
dengan bantuan tiang yang berda di dekatku.
Saat aku telah berdiri, dan aku pun
melihat sebuah kertas yang akan berperan sebagai latar dalam kehidupanku. kertas
itu adalah brosur yang tertempel di tiang tersebut. Brosur itu berisikan
tentang salah satu sekolah terbaik di daerahku, namun jaraknya jauh dari
rumahku. Aku berharap bahwa aku bisa sekolah di sana. Di sana juga menyediakan
asrama bagi siswa dan siswi yang memiliki tempat tinggal yang jauh. Dengan
senang aku membawa kertas itu untuk aku tunjukan pada kedua orangtuaku. Waktuku
seakan berhenti ketika ayahku berkata.
“ Ayah bingung, apa yang harus ayah
lakukan”. Aku tau sebenarnya ayahku memikirkan soal biaya.
Cuaca mendung dan hujan, aku menangis
bersama rumahku. Aku merasa otakku terbentur batu karang yang keras. Aku tidak
tau lagi harus berfikir apa dan berkata apa. Aku hanya bisa menangis lemah. Aku
tau sebenarnya ayahku di luar sana memikirkan bagimana caranya aku agar bisa
masuk ke sekolah itu. Tiba-tiba ayahku memanggilku untuk keluar dari kamar dan
dia ingin membicarakan sesuatu. Ayahku berniat untuk meminjam uang kepada
juragan Jaelani. Jantungku seolah tersambar petir yang timbul saat matahari berada
tepat di atas kepala. Aku tak terbayaang bagaimana nanti jika keluargaku tidak bisa
membayar uang yang akan dipinjam. Ayahku pergi dengan berbekal harapan dan
segenap keberanian ke tempat yang terlihat bagaikan surga namun nyatanya
neraka. Aku dan Zahrah mengikuti ayahku sampai di depan pagar rumah juragan
Jaelani. Setibanya di depan pagar tinggi berwarna keemasan, ayahku disambut
dengan wajah melecehkan oleh seorang satpam. Ia menolak mentah-mentah
permintaan ayahku untuk memasuki rumah mewah tersebut, walau ayahku telah
berlutut dihadapannya. Keributan itupun membuat juragan Jaelani berserta istri-istrinya keluar dari rumah
mewahnya tersebut. Aku dan adikku
bersembunyi dan menyusup masuk melewati tembok tinggi di rumahnya. Lalu aku
melihat ayahku tanpa basa-basi langsung
menebalkan keberanian untuk menyampaikan tujuannya datang ke rumah juragan
Jaelani. Setelah ayahku menyampaikan tujuannya, juragan jaelani kemudian
berkata dengan suara yang lantang.
“Apa jaminan bahwa uang tersebut bisa
dikembalikan,” dengan mendengar kata-kata itu aku langsung keluar dari persembunyian.
Dengan langkah yang penuh dengan
keberanian aku menghampiri juragan Jaelani dengan tegas aku berkata
“ Juragan aku berjanji akan
mengembalikan uang tersebut 4 sampai 5 tahun lagi”. Juragan Jaelani tertawa
terbahak-bahak mendengar perkataanku tadi.
Lalu dia berkata “apa jaminannya
bocah kecil?”
“Aku siap untuk dibunuh jika uang tersebut
tidak dikembalikan 4-5 tahun lagi”.
Orang yang berada di rumah tersebut
terdiam dan seolah tidak berani berbicara. Tiba-tiba zahrah keluar juga dari
persembunyian dan berkata.
“Jangan bunuh kakakku, bunuh aku saja”. Dengan
wajah yang menjijikan juragan berkata.
“Aku ingin kamu yang menjadi
jaminannya”. Aku sempat membantah semua itu.
Namun zahrah berbicara dengan hati yang
tertusuk dia bersedia menjadi jaminan dari uang tersebut. Juragan Jaelani
tertawa dengan kesenangan hati. Cuaca seakan mendung, hati seakan tertusuk,
petir menggelegar ditengah gelapnya siang. Aku hanya bisa pasrah dengan
keadaan. Aku berharap semua keberuntungan ada di tanganku. Kami pulang dengan membawa keceriaan beserta
kesedihan. Aku sangat gembira ayah mendapatkan pinjaman uang, namun dibalik itu
keceriaanku habis dimakan kesedihan. Aku takut nanti semua ini akan berakhir
dengan sia-sia. Namaun, aku tidak ingin semua yang telah diperjuangkan oleh
ayahku hanya sia-sia. Aku tidak mau selalu mengikuti kehidupanku. Aku pergi
dengan keheningan, kesunyian, tangisan dan doa restu. Dengan menggunakan sepeda
tetanggaku, ayahku mengantarkanku ke terminal yang jaraknya cukup jauh dari
rumahku. Kayuhan demi kayuhan yang diselimuti oleh berjuta semangat. Hatiku
meneteskan air mata yang begitu perih. Aku pergi dengan menggunakan bis. Selama
di perjalanan, pikiranku terbang melayang bersama semua kepedihan hidupku. Sering
kali aku berfikir bahwa apa yang terjadi dalam hidupku ini hanyalah mimpi,
mimpi buruk yang selalu datang di dalam kehidupan. Aku juga berfikir, di sekolahku
yang baru nanti apakah ada yang ingin berteman denganku. Di desa kecil saja tidak
ada yang mau berteman denganku apa lagi disekolah baruku nanti.
Tak lama kemudian. Aku sampai di
tujuan dengan selamat. Namun, ternyata sekolah tersebut harus masuk ke dalam sejauh
500 meter. Aku bingung, aku tidak tau harus bagaimana. Jika aku naik ojek maka
uangku akan berkurang. Jadi, untuk menghemat ongkos, aku yang diiringi oleh
matahari yang berada tepat diatas kepalaku, aku berjalan dengan beribu-ribu
semangat. Mataku dihiasi oleh pelangi ketika aku melihat sekolah yang
berkali-kali lipat bagusnya dibandingkan dengan sekolahku di desa. Aku melihat
begitu banyaknya orang yang datang untuk bersekolah disana. Ketika aku mau
mendaftar dan ingin mengikuti tes, tanpa sengaja aku melihar pengumuman dipapan
mading ternyata namaku telah terdaftar dan aku tidak perlu lagi mengikuti
berbagai tes. Hatiku begitu senang, aku bagaikan terbang melayang diseret oleh
angin.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk
asrama. Aku masuk di kamar A putra. Dalam 1 kamar tedapat 8 siswa. Aku melihat
orang-orang disekelilingku diantar dan dikunjungi ibu dan ayah mereka. Aku
menangis sendirian dengan hati yang miris di tempat tidurku. Aku sangat iri
melihat mereka, aku ingin ayahku mengantarku kesini. Namun, biaya akan
bertambah jika aku memaksakan kehendakku sendiri.Aku terbangun dari tidurku.
Hari sudah sore, matahari sudah ingin beristirahat. Aku tidak sadar ternyata
tadi aku tertidur. Semua orangtua sudah pulang. Aku bergegas untuk mandi. Aku
menikmati air yang jernih, segar dan meresap kedalam pori-pori tubuhku.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar mandi tersebut. Aku bergegas untuk
menyelesaikan mandiku, lalu aku pun keluar. Aku melihat sesosok orang bertubuh
besar, berkulit hitam, berwajah seram dengan mata yang tajam yang memandangku
dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan. Seluruh tubuhku bergetar seolah
menggigil. Dia berjalan mendekatiku sambil berbicara dengan suara yang lantang
dia langsung memarahiku dan dia berkata.
“Berani-beraninya kamu menyerobot
antrian mandiku. asal kamu tau ya, saya sudah lama menunggu”. Aku terdiam dengan mata tertutup tidak berani
bergerak dan tak berani berbicara, badanku semakin gemetar.
Tiba-tiba aku mendengar suara.
“Gleebook”, aku terkejut dan langsung membuka
mata. Aku melihat orang tersebut terpeleset dan jatuh.
Tanpa sengaja aku tertawa
terbahak-bahak, lalu aku menghentikan tertawaku karena suara tertawaku membuat
semua orang yang berada di dalam kamar bergerombol mendekati suara tertawaku. Lalu
lelaki itu berdiri dan semakin mendekatiku sambil berkata.
“Kamu
tau kamu berurusan dengan siapa?”. Aku terdiam dan aku hanya bisa menggelegkan
kepalaku.
Dia berkata dengan tegas.
“Aku ini adalah ketua kamar di sini”. Kemudian
semua orang yang berada di sekelilingku mengejekku seolah enggan berteman
denganku. Aku ketakutan sekali mendengar kata-kata itu.
Di kamar yang dihuni oleh 8 orang
ini hanya satu orang yang ingin berteman denganku. Namanya Abdul, dia adalah
orang yang humoris dan juga berasal dari orang yang kaya. Rasanya baru kali ini
aku menemukan orang kaya yang baik dan tidak sombong. Tapi sayangnya dia ini
orangnya agak kurang nyambung dan mikirnya perlu loding yang lama. Yah
begitulah manusia, selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Disekolah kami
mendapatkan banyak tugas. Apalagi tugas tentang membuat makalah. Sekolahku
memiliki jarak yang jauh dari pasar . Aku berniat untuk membeli printer yang
ada mesin fotocopynya. Aku akan mengenakan tarif yang lebih murah dari pada tarif yang
dikenakan di koprasi. Namun, aku bingung
aku membelinya pakai apa. Entah kenapa aku langsung terfikir pada Abdul.
Sepertinya aku harus meminjam uang pada Abdul. Aku rasa sudah waktunya aku menyampaikan niatku untuk
meminjam uang pada Abdul. Dengan basa-basi terlebih dahulu aku baru mengucapkan
niatku untuk meminjam uang. Tanpa satu halpun Abdul langsung mengeluarkan
uangnya dan dia juga bilang bahwa uang tersebut tidak perlu dikembalikan. Aku
sangat senang berteman dengan orang yang royal seperti Abdul.
Di hari pertamaku membuka tempat print
dan foto kopi, aku mendapatkan cukup banyak uang. Aku bahagia sekali. Namun
dibalik itu bisnisku ini tidak boleh dibocorkan kepada para guru. Jadi aku
memilih membuka usahaku setiap satu jam sebelum pulang sekolah, karena pada
saat itu guru sudah banyak yang tidak masuk kelas lagi. Aku berfikir jika
kesuksesan usahaku saja tidak cukup. Jadi, aku berfikir.
“Mesin saja bisa jadi uang apalagi otak“. Aku
berniat untuk memanfaatkan kecerdasanku untuk mencari uang.
Akhirnya,
aku bersedia menjadi guru privat kecil-kecilan dengan bayaran seikhlasnya.
Namun, hal itu tidak digunakan untuk Abdul, karena Abdul adalah sahabat
terbaikku.
Esok harinya tiba-tiba seorang guru
kesiswaan mengetahui bahwa aku memiliki usaha foto copy, dan secepat kilat
akupun segera dibawanya ke ruang guru. Aku menceritakan apa yang aku alami,
guru kesiswaanpun memberikan aku sebuah poin untuk peringatan pertama. Dan aku
berjanji tidak akan melakukan hal tersebut, ternyata mamatlah yang mengadukan
kepada guru kesiswaan bahwa aku membuka usaha foto copy. Saatku menuju keasrama
aku merebahkan badanku dikasur yang lepek dan penuh debu yang membuat badanku
sedikit gatal, tiba-tiba datang sesosok wujud yang hitam legam yang ditutupi
awan hitam datang menghampiriku. Dia adalah abdul, abdulpun menghampiriku dan
menanyakan apa yang sedang terjadi denganku, Aku menceritakan apa yang telah
terjadi disekolah tadi. Tetapi lagi-lagi mamat sudah mengahasut abdul, sehingga
abdul tak mempercayaiku lagi, sampai-sampai abdul menjahuiku. Saat aku sendiri
aku termenung, akankah abdul selalu membenciku ? telah lama aku tidak bercerita
dengan abdul padahal ada cerita yang luar biasa yang harus dia ketahui bahwa
aku sedang jatuh cinta, cinta pada seorang wanita yang sangat kupuja dia adalah
zafira wanita tercantik di sekolahku.
***
Sebulan telah berlalu.....
Abdulpun menghampiri jiteng dengan
tiba-tiba.
“Teng! Aku minta maaf, aku menyesal
aku telah menjahuimu padahal kamulah nyawaku” ternyata abdul tidak tahan menjahuiku
karena tidak ada yang membantunya untuk mengerjakan tugas dan mengajarinya.
Akupun tak lupa menceritakan wanita
terindah dalam hidupku.
***
Kelas
XII......
Tak
terasa uang dari hasil jerih payahku bekerja, menghasilkan buih sekarang uang
terkumpul 3 juta.
“Alhamdulilah tinggal 2 juta lagi aku bisa
menutupi hutang ayahku” Tetapi dalam hitungan waktu uang itu lenyap ditelan
alam.
Tak satu orangpun mengetahui hilangnya uangku,
aku merasa sedih ibarat astronot sudah sampai dibulan ternyata gagal untuk
turun ke bulan. Keringat yang kuteteskan demi mengumpulkan uang itu hanyalah sia-sia
kini aku hanya bisa mengelus dada, dan menarik napas panjang. Aku memiliki bakat dalam menulis, dan aku juga
mengikuti ekskul karya ilmiah remaja di sekolahku. Hari itu hari
keberuntunganku dimana durian jatuh tepat dihadapanku, aku lolos dalam
pemilihan.
“Peduli remaja sehat dalam mengolah air”
akhirnya aku terbang ke bogor dan mengikuti pelaksanaan dalam lomba itu.
Aku tak menyadari bahwa ini bukan
mimpi, ternyata aku menjadi pemenang dalam ajang lomba itu. Lumayan hadiahnya
cukup menarik dengan uang dua juta lima ratus.
“ Tidak apa aku akan tetap
mengumpulkan uang ini demi adik dan ayahku J”
Sedikit demi sedikit dan peluang
lomba banyak terbuka untukku akupun dapat mengumpulkan uang untuk membayar
hutangku, aku berniat untuk pulang dan menyerahkan uang kepada konglomerat itu.
Tetapi sesampai dirumah aku melihat bendera kuning melambai-lambaikan seolah
angin turut berduka dengan kepergian seorang adik. Akupun masuk kerumah dan
melihat sesosok mayat terbujur kaku diatas karpet kesayanganya, angkasa telah
pergi meninggalkan kami, adik yang selalu aku banggakan, adik yang selalu
membantuku, adik yang selalu mengerti aku, adik yang selalu ada untuk bermain
bersama, kini telah menjadi sosok mayat yang pucat dan tidak berdaya. Aku tak
kuat melihat adikku ditimbun oleh tanah yang keras dan penuh dengan
kotoran-kotoran itu, tapi aku harus merelakanya lahir dan bathin. Selamat jalan
adikku tercinta, selamat jalan adikku tersayang, dan selamat tinggal L.
***
4 hari kemudian...
Aku pergi kerumah konglomerat itu
dan membayarkan hutang ayahku secara lunas tanpa sedikitpun yang tertinggal.
Hatiku terasa lega saatku berjabat tanda lunas dengan sang konglomerat gila
harta itu. Senyum merekah bagai bunga ditaman, walaupun sekarang keluarga kami
tak lengkap seperti dulu lagi. Aku berpamitan kepada ayah untuk pulang
keasrama, karena aku mengingat sekarang aku sudah kelas XII dan sebentar lagi
aku akan berperang melawan batin dan fisik. US dan UN pun telah kulewati, tinggal
menunggu hasil yang akan menentukan nasib masa depanku. Tetapi Masalah yang ada
dipikiranku itu seperti sawang yang berggelayutan di pojok rumah yang selalu
dibersihkan tetapi tetap ada terus dan tak pernah hilang. Saatnya telah tiba, aku pun lulus SMA dan
mendapat gelar widyautama dan menjadi lulusan terbaik. Ayahku bangga padaku,
akhirnya kutemukan senyum lebar dari ayahku.
“Yah aku berjanji akan mebahagian ayah dan
adik aku janji aku tak akan membiarkan ayah kehujanan, kelaparan dirumah” J
aku sayang dengan ayah karena sekarang hanya ayah yang kupunya”.
Akupun memeluk tubuh ayahku yang
lemas tak berdaya seakan dunia ikut menangis, tangisan bahagia menderu terasa
enggan untuk berhenti.
“Ayah bangga padamu ji! Ibumu
disana pasti senang melihatmu sukses”.
***
5 bulan kemudian....
Sekarang,
aku telah diterima sekolah di perguruan tinggi jurusan fakultas kedokteran dan
mendapatkan beasiswa. Ini baru namanya hidup sukses walau awalnya harus
merayap, ikhlas dalam bentuk cobaan apapun. Sungguh aku merasa bahagia walau
hanya sekedipan mata J.
*Penulis adalah
siswa kelas XII IPA 1 SMA PLUS N 2 BA III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar